Sepotong Mimpi Udin

Jumat, 31 Agustus 20120 komentar


       

Cahaya bulan itu berpendar membentur dinding- dinding rumah bambu yang terayun- ayun digoda angin malam. Membakar dingin gulita bersama nyanyian nyamuk yang syahdu. Udin duduk meringkuk di beranda rumah bambunya seraya menyelimuti tubuhnya dengan kardus. Matanya terlihat kuyu dengan senyum yang terpaksa ia sunggingkan kepadaku. Rasanya ia ingin membuka mulutnya namun dingin  telah menyerangnya. Hatiku luruh menatap cahaya galau yang tersembur halus dari wajahnya yang pucat dan menyiratkan kesedihan yang mendalam di hatinya.
            Aku tergoda untuk bertanya padanya. “ Ada apa, Din? Muka galau masih tetep dipajang gitu? Nggak bagus tau!”
            Udin masih bertahan dengan kebisuannya. Lelah yang menggerus jiwa raganya terpancar dari sinar matanya. Bibirnya merah tergores luka dengan mimik pilu mengenaskan. Pedih.
            “ Din, kita ini hidup bersama. Punya nasib yang sama. Kita juga berjuang bersama. Kalau kamu susah, ya aku ikut susah. Kalau kamu seneng ya aku juga nimbrung. Kita berjanji untuk menerjang rintangan bersama to?” aku melihat Udin mengangguk. “ Terus kenapa kamu sekarang simpen sendiri?”
            “ Emak seharusnya pulang hari ini, Lip. Emak sudah janji sama aku kalau bakalan pulang hari ini, “ kata Udin dengan sengau merintih.
            Aku terdiam seraya diiringi rintih dari dalam. Anis, adik perempuan Udin yang masih berumur tujuh tahun, menahan laparnya dengan tangis yang amat pelan. Membuatku terenyuh. Aku diam. Aku pandangi wajah Udin yang juga terlihat menahan tangis. Aku ingin memeluknya karena aku menyayanginya. Udin yang membuat hari- hari lengkap. Aku begitu mengenalnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Udin. Ya, Udin.
                                                            ***
            Udin memang bukan sosok kebanyakan anak- anak perkampungan kumuh pinggiran pantai. Idealis. Satu  kata yang entah aku dapat dari mana tetapi itu cocok untuk menggambarkan seorang Udin. Penuh daya khayal tinggi dan kebanyakan terlalu tinggi bagi otak kami, para pemulung sampah laut. Dan memang dia selalu membawa sesuatu yang beda untuk kami. Dari gaya bicaranya yang halus teratur, pemikirannya yang keras dan kepintarannya yang membuat kami terpukau. Tetapi mimpi gilanya yang membuat kami mencap dia sebagai orang gila. Dia ingin sekolah tinggi.
            Tetapi Udin memang punya sejuta cara untuk membuat orang terkagum- kagum dengan tingkahnya. Setiap pagi buta, sebelum mentari siap untuk menampakkan cahayanya, ia sudah berdiri di pinggir pantai dan duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke laut. Mulutnya berkomat- kamit membaca sebuah kertas ditemani sedikit cahaya dari obor yang dibawanya. Pernah ku perhatikan ia membawa selembar kertas besar yang katanya itu koran. Koran? Apa itu? Selalu itu yang muncul di benak kami, anak pantai pedalaman. Tetapi ia dengan fasih menjabarkan bahwa koran adalah salah satu jendela pengetahuan karena seluruh dunia terekam di situ. Aku berdecak kagum sambil mengingat- ingat pelajaran IPS sewaktu mencicip SD dahulu. Dunia itu bulat. Takkan berujung. Seperti mimpi  Udin yang tak berujung.
            Ketika mentari mulai tersenyum di ufuk Timur, Udin mulai berdiri memandang laut. Dan ku dengar ia berteriak ke arah laut dengan menyalak- nyalak. Satu kalimat yang terekam di otakku adalah jangan sampai aku menyerah pada nasib, tetapi aku akan membuat nasib menyerah padaku. Ya, kalimat itu telah menjadi candu sendiri bagiku sehingga aku dengan rela duduk di pasir menghadap padanya yang masih khusyuk memandang laut. Aku melihat gayanya yang telah menjadi dewasa padahal ia masih 13 tahun. Setiap hari aku berusaha mendengarkan apa yang akan keluar dari mulutnya kala pagi, sebelum nelayan- nelayan mendarat dengan menyeret sampah laut dari kota. Seperti pagi itu.
            “ Teman- teman senasib seperjuangan,  lihatlah gambar ini! Lihatlah pahlawan kita ini!” Udin berkoar- koar penuh gelora di atas batu besar itu.
            Kami, anak- anak pemulung sampah laut, selalu saja bingung mengenali sosok berpeci dan berkacamata yang tergambar di koran lusuh milik Udin. Dan setiap Udin memberikan wejangan, kami selalu mengangguk- angguk seolah mengerti padahal tak satupun terserap di otak kecil kami yang tiap hari hanya makan ikan asin. Dan aku masih tidak mengeti mengapa Udin dengan bangganya menggembor- gemborkan sosok itu.
            “ Teman- teman! Inilah Ki Hajar Dewantara sang Pejuang Pendidikan Indonesia! Patutlah kita berterimakasih pada jasanya, “ seru Udin meluap- luap.
            Kami mengangguk- angguk mengerti tetapi ada satu keganjalan di hati kami. Rasanya kami ingin menampar wajah Udin karena telah berkata seperti itu pada kami. Padahal belum ada satu pun kenyataan bahwa Ki Hajar Dewantara telah menyelamatkan pendidikan Indonesia. Kami belum pernah merasakan aksi penyelamatan itu. Aku hanya mencicip bangku sekolah sampai kelas lima SD, Udin pun hanya sampai kelas enam SD. Kondisi keluarga kami yang nelayan, cukup membuat kami sadar bahwa sekolah telah menjadi hal yang sangat mewah ibarat pesawat terbang yang sering lewat di ats kampung kami. Namun aku yakin memang Udin berkata begitu karena ia mendapatkan manisnya ilmu setiap hari. Ketika matahari naik sepenggalah, ia berlari- lari ke pinggiran kota untuk menyelinap di belakang sekolah, dari SD sampai SMP. Ia dengan asyik mendengarkan guru yang menerangkan di belakang tembok kelas seraya mencatat sedikit ilmunya pada sehelai kertas bekas yang ditulisnya dengan arang  yang dihaluskan. Naas memang, tetapi itu telah membuatnya jauh lebih pintar ketimbang kami,  pemulung sampah laut bermimpi kerdil. Mimpi makan hari ini.
            “ Udin! Udin! Masih sama saja kau setiap hari, terus membohongi kami! Kami memang pemulung Udin! Jika yang kau bicarakan itu  benar, apakah kamu sudah pernah merasakan apa yang diperjuangkannya?” tiba- tiba protes keluar dari salah satu teman kami yang paling tua, Ilyas namanya. Ia memang satu- satunya penentang idealisme milik Udin yang keras.
            “Bangsa yang baik itu adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, Kawan! Patutnya kita hanya berterimakasih. Masalah kita bisa merasakannya atau tidak itu sudah nasib kita, tetapi kita jangan sampai menyerah pada nasib!”
            Namun tetap saja Ilyas menentang pendapat Udin sampai mereka berdebat keras pagi itu. Udin mengalah lalu turun dari batunya dengan wajah lesu tertunduk. Ia kalah pikirnya. Kalah menyadarkan pemikiran pendek kawan- kawannya tentang manisnya ilmu. Kalah untuk mengatakan bahwa kami punya sejuta cara untuk mewujudkannya asal kami berani bermimpi. Ya, bermimpi. Menjadi sang pemimpi. Sang pemimpi di tengah- tengah sampah kebodohan.
                                                            ***
            Walau Udin selalu bergairah menjalani hidup, namun Udin memendam seribu satu cerita duka yang dialaminya. Dan ketika ia menceritakannya, ia tak terlihat sebagai manusia yang tegar. Ia selalu berlinangan airmata karena ia yakin bahwa beban batinnya itu telah mengakar di hatinya sejak lama. Jauh- jauh sejak Emak tercintanya pergi tanpa perpisahan.
            Emak Udin pergi ke negeri orang, kata Udin yakin setelah membaca goresan arang di dinding bambunya yang ia yakini itu tulisan Emaknya. Emaknya pergi di shubuh yang gelap sebelum ayam berkokok sahut- menyahut dan meninggalkan Udin serta Anis yang masih amat kecil. Kondisi ekonomi mungkin yang membuat Emak tega meninggalkan dua bocah ingusan yang tak tahu apa- apa itu dan tiba- tiba besok harus mencari nasi sendiri. Dan entah motivasi dari mana.  tiba- tiba Emak pergi ke negeri orang. Tetapi dengan wajah polos Udin tersenyum dan berkata, “ Untuk memperbaiki nasib kami.”
            Dan hari- hari Udin dilalui untuk mencari makan ia dan adiknya, Anis, sebagai pemulung sampah di pantai dekat perkampungan kami. Tetapi ia tak pernah telat untuk pergi ke pinggiran kota yang jauhnya 50 kilometer dari kampung kami dengan berjalan. Dan ia selalu pulang dengan lembaran- lembaran kertas penuh coretan arang dan tentunya darah yang mengalir dari bibirnya.
            “ Ini yang namanya perjuangan, Bos!” katanya tenang.
            Aku tersenyum miris. Yang aku tahu bahwa ia memohon- mohon kepada pengepul barang bekas agar memberikannya sebuah buku tulis bekas. Ia telah dihajar pengepul barang bekas itu, namun selalu pulang tanpa pernah mendapatkan sehelai kertas pun. Udin tak pernah mengeluh.
                                                            ***
            Kini Udin di hadapanku dengan luka yang ia pendam. Kerinduan pada Emaknya membuat ia terlihat sepolos kapas. Udin yang selalu berharap bahwa Emak pulang dan bisa membawakannya buku tulis dan pensil. Udin yang selalu berharap bahwa ia nantinya akan menjadi guru. Guru. Ya, guru.
            “ Aku ingin ilmuku menjadi berguna bagi orang lain, “ katanya dengan penuh kebanggaan ketika ku tanya mengapa ia ingin menjadi guru.
            Kali ini ia berubah menjadi manusia yang lemah ketika ia harus berhadapan dengan semua kerinduan- kerinduannya. Ibunya, ilmunya, mimpinya, semuanya yang datang pergi silih berganti. Namun aku tak ingin mimpi Udin kandas. Aku ingin Udin meraih mimpinya dan membanggakan kami, anak- anak pemulung sampah laut karena hanya dia yang berani mempunyai mimpi.
            “ Hidup ini misteri, Din. Semua datang dan pergi. Semua yang datang pasti akan pergi. Tetapi jangan sampai mimpimu pergi, Din, hanya sekedar memikirkan emakmu yang kini kau tak pernah tahu ia di mana. Sudahlah, duniamu masih panjang, harapanmu masih besar dan dunia menunggumu. Jadi buat apa kau bersusah- susah untuk membuat keputusan?” tanyaku pelan.
            “ Namun aku tidak mungkin meninggalkan Anis, Lip. Tidak aku tinggal saja ia kelaparan, apalagi aku tinggal?” dia menyahut dengan lesu.
            “ Sudahlah, urusan Anis adalah urusanku juga. Biarkan aku menjaganya! Yang penting kau tuntut ilmumu dan jangan pernah pulang sebelum kau jadi guru. Ok!” ucapku dengan mantap.
            “ Sungguh, Lip?” Udin menatapku dengan berkaca- kaca.
            Aku mengangguk- angguk tegas dan menunjukkan kemantapan hatiku untuk menjaga adiknya selama ia bersekolah di kota. Ya, ia mendapat beasiswa di kota untuk melanjutkan SMP- nya dari sekolah yang ia sambangi setiap hari. Itu adalah anugrah baginya namun ia bingung bagaimana nasib adiknya dan aku berani menjamin nasib adiknya asalkan dia bersekolah tinggi di sana. Aku akan berkorban setengah mati asalkan Udin pulang dengan mimpi- mimpinya.
            Keesokan harinya Udin berangkat dengan membawa satu stel baju lebaran lima tahun lalu dan koran Ki Hajar Dewantara. Aku memeluk melepas kepergiannya karena aku yakin bahwa dia akan memeluk mimpi- mimpinya. Di awal kepergiaannya aku berucap pelan di telinganya.
            “ Ini buku tulis dan pensil. Jangan kau buang!” kataku tegas.
            Udin tersenyum. Senyum perjanjian. Ia akan pulang dengan mimpinya. Aku yakin.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Sainun Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger